Preman Berpolitik Dan Berkuasa : Tanda Akhir Jaman
Kita yang sangat akrab dalam ingatan publik akhir-akhir ini. Istilah tersebut merujuk pada aksi kekerasan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu kepada individu atau kelompok lainnya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan cara memkasakan kehendak. Aksi premanisme ini selalu di identikkan dengan aksi kekerasan. Baik kekerasan fisik maupun kekerasan dalam bentuk psikologis.
Kekerasan tidaklah sama dengan konflik. Kekerasan, tidak bisa terjadi dengan atau tanpa didahului oleh konflik. Bisa terjadi oleh sebab yang sepele, situasional, kadarnya bisa kuat atau lemah dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama serta berulang-ulang. Kekerasan bisa terjadi di mana-mana dan berpotensi menimpa siapa saja. Tak terkecuali di dalam panggung politik, di mana panggung tersebut merupakan mimbar terbuka bagi para politisi dengan berbagai latar belakang karakter dan pendidikannya.
Selama proses pertukaran ide, gagasan dan pesan-pesan politik dilakukan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, selama itu pula peluang terjadinya kekerasan dalam komunikasi politik akan terus berlanjut dan berulang-ulang. Bahkan tidak jarang berujung pada kekerasan fisik maupun psikologis.
Fenomena Premanisme politik di DPR adalah orang-orang baru dengan lingkungan yang seperti tergambar, akhirnya menjadi kombinasi antara sebagian orang baru yang memiliki kosa kata politik terbatas, kapabilitas politik juga terbatas, bertemu dalam suasana hiruk pikuk kehidupan politik, euforia politik yang sesungguhnya sebagian bisa disimbolkan bahwa; dengan pertemuan dua arus ini, individual politisi memiliki cara tersendiri terhadap kesempatan yang ia miliki."
Bagian penting dari kekerasan komunikasi politik yang patut kita garis bawahi adalah egosentrisme dan ketiadaan seleksi pesan yang hendak disampaikan, baik dalam bentuk tindakan, sikaf, pandangan politik dan seterusnya yang menunjukkan kedewasaan para politisi dalam berpolitik. Egosentrisme menyebabkan individual politisi cenderung memberikan pembelaan terhadap kelompok politiknya secara membabi buta, nyaris tanpa kritik dan evaluasi. Pesan politik yang tampak justru bukan subtansi, tetapi seorang politisi yang kehilangan narasi dan argumentasi. Karenanya, ketika egosentris itu bekerja, maka ukurannya bukan lagi kekerasan atau bukan kekerasan, tetapi perasaan merasa terbela atau tidak. Sehingga pesan yang disampaikan menjadi tidak terseleksi. Contoh sederhana kekerasan komunikasi politik yang dapat kita amati adalah ketika mencuatnya issu rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersusbisi beberapa waktu lalu. Di mana kala itu, yang tergabung dalam koalisi Parpol pendukung pemerintah memilih untuk berbeda sikaf dan pandangan dalam menyikapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM, dengan sekeranjang argumentasi yang dimilikinya. Maka apa yang terjadi? Sebagian besar elite parpol koalisi menampilkan bentuk kekerasan komunikasi politik terhadap partai yang bersangkutan. Beberapa istilah kemudian dimunculkan. Mulai dari "Politik Dua Kaki", "Tidak Punya Kelamin", "Munafiq". "Tidak tahu malu" Sampai pada pernyataan, egosentrisme yang berlebihan serta kosakata politik yang belum memadai, menyebabkan ketiadaan seleksi pesan yang disampaikan oleh para politisi, sehingga aksi Premanisme Politik menjadi sebuah parodi yang tak berkesudahan.
Di negara-negara demokrasi manapun di dunia, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan sah, selama perbedaan itu dapat dikomunikasikan dengan cara-cara yang elegan, beretika dan benar. Demokrasi sejatinya difahami bukan hanya dalam arti kuantitatif sebagai pemerintahan mayoritas, tetapi juga bermakna kualitatif sebagai pemerintahan yang beretika. Pemerintah bekerja merealisasikan tujuan-tujuan yang baik dan bernilai tinggi dari masyarakat kemudian dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Etika dalam komunikasi politik akan menghindarkan kita dari kejahatan, yakni pemerintahan yang semata-mata bekerja atas dasar kemauan mayoritas, meskipun kepentingan dan kemauan mayoritas tersebut tidaklah selalu bermuatan baik dan mengorbankan kepentingan publik yang jauh lebih prioritas.
Pada tataran yang lebih luas, premanisme politik sesungguhnya tidak hanya terjadi dipanggung politik DPR, tetapi juga di panggung media massa. Kebebasan pers yang menjadi salah satu indikator negara berbasis demokrasi, acapkali menyajikan berbagai bentuk kekerasan dalam komunikasi politik. Baik yang dilakukan oleh narasumber dari kalangan politisi, pengamat politik, ativis politik, LSM maupun dari pers itu sendiri. Setiap bentuk penyampaian pesan politik yang dilakukan oleh komunikator politik dalam bentuk pewacanaan sekalipun dan dilakukan secara tidak proporsional, yang pesannya mengandung unsur kekerasan fisik maupun psikologis menurut, adalah layak dan dapat disebut sebagai bentuk premanisme politik. Oleh karenanya, sebagai anak kandung demokrasi, pers seyogyanya tidak hanya berpijak pada kebebasan semata dalam menyebarkan informasi, tetapi hendaknya bergerak maju pada penyebaran berita dengan misi dan bermuatan kepentingan publik. Dalam hal demikian, moralitas, etika dan fatsoen pemberitaan yang sudah diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia perlu di implementasikan dengan sebaik-baiknya.
Agar opini publik yang terbangun adalah opini yang sehat, demokratis, jauh dari kesan kekerasan yang dapat menghindarkan kita pada demokrasi premanisme.
Jika Negara lemah, lalu bagaimana tugas negara yang menjamin keamanan negara, menciptakan rasa aman, menjamin kepastian hukum harus dinikmati oleh rakyat. Tentu Perubahan bangsa tidak semata-mata diukur oleh pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Negara perlu mengukur index kebahagiaan (Index of happiness). Salah satu yang perlu ditekankan adalah rasa aman. Untuk membangun rasa aman, perlu sebuah revolusi yang digerakkan oleh pemimpin dengan jiwa besar, karismatik. Jika hal tersebut tidak berjalan dengan baik, maka kemungkinan besar yang menggerakkan adalah kesadaran kolektif, gerakan organik menjadi driving force disaat perwakilan dilembaga legislative tidak lagi merepresentasikan suara rakyat. Saat demo sudah dibeli dengan uang, maka gerakan akar rumput, turun ke jalan menjadi alternative gerakan. Padahal di era demokrasi harusnya perdebatan wacana menjadi sebuah tren. Mungkin rakyat jengah melihat perdebatan wacana yang hanya menjanjikan perubahan kearah perbaikan.
Inilah demokrasi, suara kiayi sama dengan suara tuakng becak, suara sarjana sama dengan suara lulusan SD. Hanya dihargai satu coblosan. Dan ironisnya, negeri ini masih bodoh untuk menerima 50.000 ribu demi satu kali coblosan. Dan anggaran yang trilyunan itu akan di makan rame-rame. Logis tidak jika seorang wali kota atau bupati sampai sampai preman insaf berduit mengeluarkan 40-an milyar demi pilkada ini? Trus gaji mereka berapa? Inilah misteri dalam dunia mafia, mereka akan mencari agar modalnya kembali dan mendapatkan untung dari itu? Trus dimana KPK dan Polisi? KPK dan polisi sibuk bermain politik di senayan. Menagkap yang tidak terbukti dan membiarkan daerah dikuasai preman. Selamat datang di dunia mafia, siapa kuat dia bertahan.
Comments
Post a Comment
WeLcOmE TO My SiTeS