Wajib Militer Menghadapi Konflik Perang Besar Di Laut Cina Selatan

Hasil gambar untuk wamil
Wajib militer atau seringkali disingkat sebagai wamil adalah kewajiban bagi seorang warga negara berusia muda terutama pria, biasanya antara 18 - 27 tahun untuk menyandang senjata dan menjadi anggota tentara dan mengikuti pendidikan militer guna meningkatkan ketangguhan dan kedisiplinan seorang itu sendiri. Wamil biasanya diadakan guna untuk meningkatkan kedisiplinan, ketangguhan, keberanian dan kemandirian seorang itu dan biasanya diadakan wajib untuk pria lelaki. Yang harus wamil biasanya adalah warga pria. Warga wanita biasanya tidak diharuskan wamil
Negara mana yang melaksanakan wamil?
Aljazair
Angola
Austria
Bolivia
Brasil
Chili
Ekuador
Estonia
Filipina
Finlandia
Israel
Iran
Korea Selatan
Korea Utara
Kuba
Kuwait
Malaysia
Meksiko
Mesir
Moldova
Libya
Rusia
Seychelles
Siprus
Singapura (Wajib militer di Singapura)
Suriah
Swiss
Taiwan
Thailand
Turki
Ukraina
Uni Emirat Arab
Venezuela
Yordania
Yunani
Luasnya wilayah Indonesia, ditambah lautan yang mengelilinginya jelas membuat Indonesia menjadi sangat rawan terhadap serangan luar. Keamanan negara seperti yang diamanatkan UUD 1945 memang bukan hanya urusan tentara saja, melainkan seluruh rakyat Indonesia walaupun sebatas komponen cadangan sistem pertahanannya. Idealnya sebuah negara memiliki 0,4% dari jumlah penduduknya untuk alat kelengkapan negara. Sementara jumlah personel kelengkapan negara Indonesia tidak mencapai angka 1 juta melainkan 413 ribu personel yang terdiri dari 317 ribu personel TNI AD, 82 ribu personel TNI AL, serta 34 ribu personel TNI AU. Tetap saja, apa wajib militer bisa dijadikan solusi terkait fakta tersebut?
Apa tujuan wajib militer?
Pelatihan wajib militer untuk menggodok seorang warga Negara sipil yang polos, menjadi seorang yang tangguh, disiplin, kesetiakawanan/loyalitas terhadap corps/bangsanya, rela berkorban, keberanian membela haknya, memiliki ethos kerja tinggi. Tak kurang dari28 negara di dunia melaksanakan wamil. Sebagai contoh Amerika Serikat dan Korea adalah dua dari sekian banyak negara didunia. Perlu diingat bahwa Negara Amerika Serikat adalah Negara yang menganut politik supermasi sipil (warga Negara sipil yang boleh ikut berpolitik praktis, militer tidak), tapi sejak lama sudah memberlakukan UU Wajib Militer dinegaranya. 
Bangsa Amerika ditempa menjadi suatu kekuatan Negara yang sangat kuat dan professional pada saat memimpin sekutu melawan tiga Negara penjajah dan fasis yaitu Jerman, Italia dan Jepang pada Perang Dunia ke II ( 1939-1945). Ilmu Manajemen Militer pemerintah AS saat sukses memimpin sekutu (Inggris, Perancis, Rusia, dll) memenangkan Perang Dunia ke II inilah yang dijadikan basis ilmu manajemen pemerintahan Amerika Serikat, termasuk manajemen perekonomiannya..( Ingat Jendral Dwight Eisenhower sebagai presiden AS setelah memenangkan PD II)…Semua manajemen militer diadopsi di seluruh perusahaan besar Amerika Serikat, sebagai basis manajemen perusahaannya. Para pemimpin bangsa Amerika, khususnya para presidennya hampir seluruhnya adalah veteran perang dunia II atau perang Vietnam yang sangat berpengalaman dalam manajemen militer yang kemudian ditransformasikan kedalam manajemen sipil di Amerika Serikat.. 
Manajemen militer itu pula yang menyebabkan manajemen pemerintahan AS sangat kuat, salah satunya dari aplikasi manajemen militer itu adalah menerapkan UU Wajib Militer Yang paling menyolok dalam kehidupan militer adalah pemberlakuan hukum disiplin yang sangat ketat selama 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu dan 30 hari dalam sebulan serta 365 hari dalam setahun… sehingga berlaku motto: “Disiplin adalah nafasku, pengabdian adalah kebanggaanku Bandingkan sekarang dengan situasi di Negara Tercinta kita Indonesia, indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia. Juga negara yang memiliki Penduduk yang sangat besar, termasuk 5 besar dunia. Dengan demikian, Angkatan Kerja Indonesia sangat besar
Laut Cina Selatan yang semakin panas. Walau tak ikut berkonflik, Indonesia bakal kena efeknya jika perang terjadi. Dalam kondisi itu, Natuna paling berisiko karena dekat dengan tempat sengketa. “Dalam latihan perang, TNI ingin tunjukkan kekuatan dan kedaulatan di Natuna,” kata perwira itu. Sengketa Laut Cina Selatan melibatkan tujuh negara, yakni Cina, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan, dan Jepang. Cina mengklaim hampir seluruh wilayah perairan itu. Untuk memperkuat klaim, Beijing memerintahkan pembangunan pulau buatan di Kepulauan Spratly. Tentu pembangunan itu menuai kecaman dari enam negara lain. 
Pertengahan April lalu, The New York Times merilis sebuah foto satelit pulau buatan Cina seluas ribuan hektare yang hampir rampung. Di dalamnya terdapat landasan pacu pesawat sepanjang 3 kilometer, dua landasan helikopter, dan sepuluh antena satelit mirip radar militer. Filipina, yang paling dekat dengan pulau buatan itu, merasa gerah. Sebagai antisipasi, Filipina berkomitmen menambah anggaran pertahanan hingga 25 persen dari anggaran belanja negara. Dana itu dibutuhkan untuk memodernisasi alat utama sistem persenjataan mereka yang sudah uzur demi menghadapi ancaman Cina. Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Johny Josephus Lumintang, menganggap wajar keputusan Manila. Sebab, dari sisi ekonomi perikanan saja, negara itu merugi akibat rusaknya biota laut lantaran reklamasi yang dilakukan oleh Cina. “Filipina juga mendapat dukungan dari saudara tuanya, Amerika Serikat,” kata Johny kepada Tempo, Rabu pekan lalu. 
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno optimistis Indonesia dan kawasan Laut Cina Selatan tetap aman. Tedjo yakin perang tidak akan terjadi. Sebab, negara yang bersengketa lebih mengutamakan penyelesaian secara diplomatik ketimbang perang. “Tapi kalau sampai terjadi perang, pasti berimbas ke Indonesia,” kata Tedjo, Rabu pekan lalu. Masalahnya, penyelesaian diplomatik itu tak mudah. Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa negara-negara yang bersengketa menutup diri dari dialog antar-mereka. Perlu negara lain yang dianggap netral untuk menengahi sehingga dialog bisa dilakukan. Hikmahanto optimistis Indonesia bisa menjadi penengah dalam dialog tersebut. “Menyelesaikan sengketa memang sulit, tapi minimal Indonesia harus bisa redam terjadinya perang,” kata Hikmahanto. 
Menurut Tedjo, hal itu memang akan dilakukan. Indonesia akan mengajak negara ASEAN yang bersengketa untuk berdialog bareng. Pemerintah sudah memerintahkan agar Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan melobi perdamaian dalam sejumlah agenda internasional dan regional. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengaku berbicara tentang perdamaian Laut Cina Selatan dalam pertemuan antar-Menteri Pertahanan se-ASEAN di Langkawi, Malaysia, 16 Maret lalu. Ryamizard mengimbau negara-negara yang bersengketa tidak mengangkat senjata. Sebagai solusi, Ryamizard mengajak negara-negara bersengketa melakukan patroli damai bersama di Laut Cina Selatan. “Ini konsep bagus untuk meredam konflik,” kata Ryamizard, awal Juni lalu. Ryamizard juga berbincang dengan Menteri Pertahanan Cina dalam acara Shangri-La Dialogue di Singapura akhir Mei 2015. 
Dalam pertemuan Menteri Pertahanan kawasan Asia-Pasifik itu, Ryamizard lagi-lagi menyampaikan konsep patrolinya. “Dalam pertemuan bilateral, Menhan Cina mendengarkan dengan saksama konsep patroli bersama di Laut Cina Selatan,” kata Ryamizard. Pengamat militer dari Universitas Padjadjaran Muradi mengatakan meski menjadi penengah, pemerintah tak boleh lengah. Pemerintah wajib meningkatkan kemampuan, kekuatan, dan penjagaan di perbatasan Laut Cina Selatan dan sumber daya vital milik Indonesia. “Pemerintah harus bisa yakinkan warganya kalau Indonesia kuat dan aman dari bahaya konflik tersebut,” kata Muradi. Jika Perang Terjadi Perang atau tidak ada perang, Laut Cina Selatan tetap harus menjadi perhatian Indonesia. 
Pengamat kelautan dari Surya University Alan F. Koropitan mengatakan keamanan Laut Cina Selatan berpengaruh bagi ekonomi, visi poros maritim, dan stabilitas kawasan. – Jalur strategis. Laut Cina Selatan menghubungkan pelayaran Asia Selatan, Asia Tenggara, Asia Barat, menuju Asia Timur. Perairan itu dilewati 40 persen kapal dagang dunia. Laut Cina Selatan juga menjadi lalu lintas ekspor-impor Indonesia menuju kawasan Asia Timur, seperti Cina, Taiwan, Jepang, dan Korea Selatan. Jika perang terjadi di kawasan laut tersebut, maka akan mengganggu alur perdagangan dunia dan Indonesia berampak tak langsung. 
Meski tak ikut konflik, jika perang terjadi, keresahan juga dirasakan masyarakat di Tanah Air. Hubungan Indonesia dengan negara-negara yang bersengketa pun renggang dan tak nyaman. Walhasil kelesuan ekonomi bisa terjadi di kawasan ASEAN. – Klaim Cina. Konflik di Laut Cina Selatan bisa mempengaruhi kedaulatan Indonesia. Sebab, pada 2014, Beijing dikabarkan mengklaim sebagian wilayah perairan Natuna. Meski Wakil Duta Besar Cina untuk Indonesia, Liu Hongyang, membantah kabar tersebut, pemerintah tetap harus waspada.







































Comments

Popular Posts