AUKUS Menambah Panas Sengketa Laut Cina Selatan
Di masa pandemi manuver China Coast Guard bahkan People's Liberation Army Navy (PLAN) telah memprovokasi Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Salah satu insiden paling awal melibatkan Cina mengirim kapal patroli surveinya ke Laut Natuna Utara Indonesia dikawal oleh kapal perusak PLAN dan mengancam nelayan setempat.
Militerisasi kawasan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir dengan banyak negara menyelenggarakan latihan militer bersama. Indonesia dan AS menyelenggarakan latihan militer gabungan terbesar mereka yaitu Garuda Shield yang melibatkan hampir 4000 tentara. India dan Vietnam bersama-sama mengadakan latihan angkatan laut di Laut Cina Selatan. AS dan Filipina melanjutkan latihan militer tahunan Balikatan yang telah ditunda karena pandemi. Sementara itu Cina juga menyelenggarakan salah satu latihan militer terbesarnya dengan Rusia yang melibatkan 10.000 tentara.
Kehadiran militer negara-negara non-claimant di Laut China Selatan juga semakin meningkat. Program Kebebasan Navigasi AS, Inggris, Jerman dan Prancis semuanya telah mengirim kapal angkatan laut ke wilayah tersebut. Tampaknya negara-negara ini ingin mengirim pesan ke Beijing bahwa mereka siap untuk menanggapi setiap provokasi di Laut Cina Selatan.
Tetapi kejutan sebenarnya untuk kawasan ini adalah pengumuman AUKUS pada tanggal 15 September 2021 yaitu aliansi keamanan dan teknologi antara Australia, Inggris, dan AS. Perjanjian tersebut akan melihat AS dan Inggris membantu Australia dalam mengembangkan program kapal selam bertenaga nuklir.
Di Asia Tenggara penerimaan AUKUS ada yang menolak dan yang mendukung. Negara-negara ASEAN sejak lama memegang posisi yang berbeda mengenai kehadiran militer Barat di kawasan dan pandangan tentang AUKUS telah jatuh di sepanjang garis negara yang sama. Negara-negara yang cenderung menyambut kehadiran militer Barat di kawasan seperti Singapura dan Filipina telah merespon positif atau setidaknya netral seperti vietnam terhadap AUKUS. Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia yang sudah curiga dengan kehadiran seperti itu yang lebih skeptis.
Implikasi militer dari AUKUS sangat besar terutama di Laut Cina Selatan. Sementara Filipina berpendapat bahwa kehadiran Barat yang lebih kuat dapat menghalangi langkah yang lebih agresif dari China di Laut China Selatan, Indonesia menunjukkan bahwa AUKUS dapat memprovokasi perlombaan senjata di kawasan itu dan merugikan non-proliferasi nuklir.
AUKUS mungkin tidak mengancam Indonesia atau negara Asia Tenggara lainnya secara langsung tetapi memancing tanggapan Beijing dan mengintensifkan persaingan militer AS-Cina di wilayah tersebut. Persaingan militer yang semakin tinggi akan menempatkan negara-negara Asia Tenggara pada posisi yang tidak aman.
Segera setelah pengumuman itu Menteri Pertahanan Malaysia Hishammuddin Hussein menekankan perlunya mempertahankan dialog dengan Cina. Respon Cina terhadap AUKUS akan menjadi indikator penting kemungkinan terjadinya perang atau eskalasi di Laut China Selatan. Sejauh ini Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian mengatakan perjanjian itu 'sangat tidak bertanggung jawab' dan 'sangat merusak perdamaian dan stabilitas regional dan mengintensifkan perlombaan senjata'.
Sementara beberapa analis berpendapat bahwa perang terbuka di Laut Cina Selatan tetap tidak mungkin kawasan itu harus mengantisipasi semua kemungkinan. Pada tahun 2020 ketika Presiden Cina Xi Jinping mengunjungi sebuah pangkalan militer di Guangdong salah satu pesan utamanya kepada para prajurit adalah ' menempatkan semua pikiran dan energi mereka untuk mempersiapkan perang ' dan 'mempertahankan keadaan siaga tinggi'.
Cina tampaknya sedang mempersiapkan skenario terburuk. Menanggapi AUKUS negara Cina kemungkinan akan mempercepat modernisasi militernya.
Bagaimanapun pengumuman AUKUS telah menyebabkan meningkatnya ketidakpastian di kawasan yang mendorong semua negara untuk mempersiapkan skenario terburuk apa pun di tahun-tahun mendatang.
Comments
Post a Comment
WeLcOmE TO My SiTeS